G30S DIRANCANG UNTUK GAGAL

Meletusnya peristiwa G30S dan seluruh tragedi 1965 [dan 1966] merupakan salah satu ujung perang dingin antara dua kubu kekuatan di dunia, baik kubu kapitalis versus komunis maupun kubu revisionis versus dogmatis ekstrim kiri [berdasarkan istilah para pihak] dan
kubu imperialis versus gerakan kemerdekaan yang ikut menyeret Indonesia ke dalam pusarannya. Menurut rumusan Bung Karno (BK) pertentangan dua kubu antara oldefos melawan nefos. Hanya dengan memahami situasi ini semua maka kita dapat mengerti tragedi 1965 beserta seluruh akibatnya, sebagai bagian suksesnya kubu anti-Sukarno di dalam negeri [yang dipandegani sejumlah jenderal AD] dan luar negeri [yang dibenggoli Amerika Serikat] untuk menjatuhkan Presiden Sukarno. Kekuatan dalam dan luar negeri anti-komunis dan anti-Sukarno memiliki kepentingan yang sama untuk menghancurkan PKI yang perkembangannya ketika itu menakutkan musuh-musuhnya, serta menggulingkan Presiden Sukarno sekaligus.
Pertentangan internal Indonesia antara kekuatan kaum kanan [yang didukung oleh kaum militer kanan, khususnya AD] melawan kaum kiri dengan PKI sebagai kekuatan pokoknya [tentunya juga dengan dukungan tersembunyi kaum militer kiri]. Pertentangan politik yang terus memanas sepanjang 1960-an sebelum 1 Oktober 1965 ditandai dengan berbagai peristiwa yang menelan korban di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara dsb. dalam skala kecil. Pertentangan yang memanas itu ditandai juga adanya sejumlah teror terhadap pimpinan dan organisasi kiri, kampanye pengganyangan setan kota dan desa, kabir, masalah Manikebu dan BPS, aksi sepihak untuk melaksanakan undang-undang yang telah disetujui DPR berupa UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-Undang Pokok Bagi Hasil) yang menguntungkan petani penggarap dan buruh tani yang jumlahnya berjuta-juta. Situasi politik memang panas, akan tetapi tidak ada situasi yang menjurus apa yang disebut sebagai keadaan “membunuh atau dibunuh.” Ini sama sekali tidak ada dan tidak ada buktinya, apalagi situasi yang kadang disebut menuju “perang saudara,” suatu sebutan yang mengada-ada. Situasi panas itu dengan arus pokok yang menguntungkan kubu pendukung Presiden Sukarno serta kaum kiri, PKI khususnya.
Setelah dihancurkannya PKI dan kekuatan kiri yang lain serta digulingkannya Presiden Sukarno, maka hasilnya Indonesia jatuh ke tangan kekuasaan diktator militer di bawah Jenderal Suharto, menjadi negeri tergadai yang tunduk dan tergantung pada kapital global sebagai bagian dari neokolonialisme dengan dukungan senjata dan hukum sampai saat ini.
Tinjauan dan Kegagalan G30S
Dalam sejumlah pertemuan sebelum 1 Oktober 1965 yang dihadiri oleh mereka yang oleh pimpinan PKI dinamai Perwira Progresif terdiri dari Kolonel Inf Latief, Letkol Inf Untung, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi, dihadiri sejumlah orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC) PKI. Dengan kehadiran pimpinan BC PKI, apakah ini berarti konsep G30S berasal dari mereka? Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC? Apa sekedar karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK) dan pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku putih Orba sebagai komplotan PKI. Jika G30S merupakan komplotan PKI, apa sebab massa PKI yang amat besar, yang berjuta-juta itu sama sekali tidak dikerahkan atau dipersiapkan, bahkan mereka tidak tahu-menahu, termasuk banyak pimpinan PKI yang tersebar di seluruh Indonesia tidak tahu dengan tepat? Msih banyak pertanyaan lain yang jawabnya tidak begitu jelas dan tidak memuaskan yang selalu menimbulkan pertanyaan baru. Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief, Mayor Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana operasi penangkapan para jenderal yang dipandangnya tidak profesional. Usulan dia tentang penutupan jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi pada saat gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan tajam, apa sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal (DD, ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu yang harus menangkapnya? Karena Mayor Inf Agus Sigit, anak buah Kolonel Inf Latief, tidak setuju dengan sejumlah masalah penting yang dibicarakan dalam rapat 17 September 1965, ia tidak lagi mengikuti pertemuan-pertemuan berikutnya, bahkan kemudian pada 1 Oktober 1965 pasukannya tidak muncul. Masalah-masalah penting yang dikemukakan dan dipertanyakan Agus Sigit rupanya tidak mendapatkan perhatian semestinya dari yang lain. Kemudian terbukti hal-hal itu menjadi sebagian kelemahan mendasar gerakan.
Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru lima bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil bagian dalam gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang dilaporkan, logistik tidak memadai, atau bahkan tidak ada), dokumen-dokumen G30S saling bertentangaqn satu sama lain, tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1 menyebutkan, “Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner”; dalam Keputusan No.2 disebut, “Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI pada 30 September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September…” lalu ada penurunan pangkat. Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di tempat, membunuh sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya, bertentangan dengan pemahaman perintah Letkol Untung.
Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Suharto dua kali. Siapa yang menugaskan dirinya? Syam bersaksi ia yang berada di tempat agak jauh di tempat yang sama. Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga batalion tetapi yang ikut bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi Markas. Nama Latief tidak tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi “hanya” sebagai anggota Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen Suparjo. Dapat ditambahkan bahwa Brigjen Suparjo tidak pernah ikut rapat-rapat persiapan, mungkin sekali ia hanya menerima informasi bahwa segala sesuatunya beres, sebagaimana tercantum dalam “dokumen Suparjo.”
Jika Suharto bukan dari bagian komplotan, maka Latief yang telah menemuinya sampai dua kali dan menyampaikan tentang gerakan yang sedang diikutinya merupakan pembocoran rahasia gerakan sebagai yang dituduhkan sementara orang. bahkan ada juga yang menuduhnya ia berkhianat terhadap gerakan, padahal kepergiannya setahu Letkol Untung dan Brigjen Suparjo. Latief mempuyai hubungan dekat dengan bekas atasannya, tentunya sedikit banyak ia tahu tentang pandangan politik Suharto. Apalagi justru Jenderal Suharto yang memanggil dan menginspeksi pasukan Yon 530 Brawijaya dan Yon 434 Diponegoro yang dianggap terlibat G30S. Setidaknya menurut Syam pasukan itu mendukung gerakan meskipun kita tidak dapat melihat di mana letak dukungannya itu, kecuali sebagian pasukan Yon 434 Diponegoro yang hendak mengundurkan diri ke PAU Halim dan yang ditolak oleh pihak AU, lalu berada di pinggiran Halim. Mereka ini yang terlibat kontak senjata dengan pasukan RPKAD.
Pada pagi setelah jam 08.30 1 Oktober 1965 Letkol Pnb Heru Atmodjo sesuai dengan tugasnya mengantarkan Brigjen Suparjo yang baru saja bertemu Men/Pangau Omar Dani ke rumah Sersan Anis Suyatno di kompleks perumahan bintara di Halim. Di sana Heru Atmodjo melihat kembali beberapa orang yang pagi itu diperkenalkan kepadanya di gedung Penas, Kolonel Latief, Letkol Untung dan dua orang sipil bersama Mayor Suyono. Di belakang hari diketahuinya kedua orang sipil itu bernama Syam Kamaruzaman dan Pono. Sebagai seorang tentara yang memiliki pengalaman memimpin operasi militer, ia tidak melihat adanya sekelompok pimpinan yang sedang memimpin operasi. Apalagi operasi yang dilakukan [seperti dikatakan oleh Mayor Udara Suyono] setingkat divisi, tentunya ada staf pemikir dan pembantu bagi komandan atau panglima pasukan. Karena ia melihat sendiri gerakan itu dari dekat, maka “gerakan ini seperti dirancang sedemikian rupa untuk menemui kegagalannya” Demikian tulis Heru Atmodjo. G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya ada satu rencana, itu merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer maupun politik seperti ditulis Jenderal Nasution.
Pada sore hari 1 Oktober 1965 dari Halim Presiden Sukarno mengeluarkan perintah dihentikannya tembak-menembak di antara seluruh pasukan serta ajakan menunggu penyelesaian politik oleh Presiden. Perintah tersebut oleh pasukan RPKAD tidak boleh disiarkan lewat RRI Jakarta. Ini merupakan permulaan pemberangusan terhadap Presiden Sukarno yang dilakukan oleh kekuasaan Jenderal Suharto. Sejak jam 19.00 1 Oktober 1965 RRI terus-menerus menyiarkan pernyataan Jenderal Suharto. Kini bukan saja pasukan Suharto menguasai lapangan, tetapi juga bidang komunikasi. Sabotase ini berlanjut sampai dijatuhkannya Presiden Sukarno.
Sebagai diulas oleh Letkol Pnb Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer yang serius, seharusnya dipimpin seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang secara intelektual maupun pengalaman lapangan memadai. Tetapi justru dia tidak pernah dilibatkan dalam rapat persiapan. Dalam buku Jenderal Nasution (1988), apa yang biasa disebut “dokumen Suparjo,” suatu dokumen yang dipercaya sebagai ditulis oleh Brigjen Suparjo setelah gagalnya G30S, telah diulas secara singkat, antara lain sbb: (1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dkk menghadapi kegagalan gerakan, semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal, mereka bingung, tidak ada perintah jelas, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak mendapat makanan, bahkan ada yang minta ke Kostrad. Pasukan meninggalkan RRI tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan menghentikan gerakan, masing-masing bubar, pulang, sambil menunggu situasi.
Peran Intelijen, Amerika Pura-Pura Kaget
Perang dingin yang di Indonesia berpuncak pada tragedi 1965 tidak dapat dilepaskan dari peranan barisan dinas intelijen dalam dan luar negeri dengan operasi intelijennya yang saling bekerjasama, menusuk, menjegal, menipu, menyesatkan dan memerangi. Jika BC PKI setidaknya sebagian tugasnya menyerupai dinas intelijen, mereka ini jauh lebih asor dibandingkan dengan yang dimiliki AD misalnya. Syam Kamaruzaman biasanya disebut sebagai agen ganda, dari kesaksiannya di Mahmillub kita ketahui dengan cekatan ia sepenuhnya mengabdi pada militer di bawah Jenderal Suharto. Seorang spion AD bernama Sriharto Harjomiguno yang sudah bertahun-tahun berada di tubuh PKI, dalam jangka tertentu menjadi pengawal DN Aidit selama di Jawa Tengah sesudah 2 Oktober 1965 tanpa bisa diendus. Belum lagi kita bicara tentang kecanggihan CIA atau dan KGB.
CIA dan moyangnya telah malang melintang di Indonesia sejak permulaan kemerdekaan, salah satu puncaknya di masa pemberontakan PRRI dan Permesta. Dalam bulan Desember 1964, seorang Duta Besar Pakistan di Eropa menulis laporan kepada Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto antara lain berisi percakapannya dengan seorang perwira intelijen Nato. Sejumlah dinas intelijen Barat sedang menyusun suatu skenario akan terjadinya suatu kudeta militer yang terlalu dini yang dirancang untuk gagal. Dengan itu akan terbuka kesempatan legal yang ditunggu-tunggu bagi AD untuk menghancurkan kaum komunis dan menjadikan Sukarno sebagai tawanan AD. Demikian diungkapkan oleh penelitian Neville Maxwell. Dalam memorandum rahasia Washington 23 Februari 1965 dibicarakan tentang dukungan terhadap elemen anti-komunis menghadapi PKI dan politik Sukarno dengan selebaran dan siaran radio gelap, kalau perlu menggunakan ajaran Sukarno. Dalam telegram rahasia Dubes Jones 24 Mei 1965 dibicarakan tentang rancangan kudeta yang terpaksa diundur. Dubes AS ini menyebutkan tentang adanya “hubungan pribadi dengan salah satu pemimpin kelompok kudeta yang mewakili elemen sipil dan militer penting.” Setelah kudeta [di radio] oleh G30S pada 1 Oktober 1965, Dubes Marshall Green yang menggantikan Jones menyatakan dengan “bijaksana,”…… “bahwa sikap yang paling bijaksana [pihak AS] ialah mengakui kup itu benar-benar mengagetkan kami [AS]….. “ Pendeknya pemerintah AS dan CIA yang sudah tahu jauh-jauh hari serta ikut merancangnya itu pura-pura kaget dan tidak tahu apa yang harus diperbuat….. Tipuan sederhana inilah yang dipercaya sebagian sejarawan dan pengulas sejarah G30S meski sudah dibuat jelas oleh mantan Dubes AS Marshall Green sebagai tipuan. Kudeta di radio itu kemudian segera diikuti oleh kudeta sebenarnya Jenderal Suharto.
Setelah kegagalan G30S dan PKI mendapat hantaman palu godam Jenderal Suharto cs, selapisan pimpinan PKI [di antaranya Sudisman yang mengaku terlibat] mengadakan kritik otokritik pada 1965/1966 [yang terkenal dengan sebutan KOK]. Sudisman menghubungkan kegagalan G30S tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sejak 1950-an. Tak pelak para penyusunnya ikut ambil bagian dan bertanggungjawab terhadap kesalahan tersebut, hal ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya oposisi mendasar yang berarti sebelum tragedi 1965 terhadap pimpinan kolektif PKI.
Apa pun yang terjadi, dari berbagai kelemahan dan kesalahan mendasar G30S yang merugikan dan bahkan menyabot diri sendiri, maka hanya ada satu kesimpulan bahwa G30S memang dirancang untuk gagal sebagai tangga panjatan sang dalang sebenarnya.

G30S DIRANCANG UNTUK GAGAL

Meletusnya peristiwa G30S dan seluruh tragedi 1965 [dan 1966] merupakan salah satu ujung perang dingin antara dua kubu kekuatan di dunia, baik kubu kapitalis versus komunis maupun kubu revisionis versus dogmatis ekstrim kiri [berdasarkan istilah para pihak] dan
kubu imperialis versus gerakan kemerdekaan yang ikut menyeret Indonesia ke dalam pusarannya. Menurut rumusan Bung Karno (BK) pertentangan dua kubu antara oldefos melawan nefos. Hanya dengan memahami situasi ini semua maka kita dapat mengerti tragedi 1965 beserta seluruh akibatnya, sebagai bagian suksesnya kubu anti-Sukarno di dalam negeri [yang dipandegani sejumlah jenderal AD] dan luar negeri [yang dibenggoli Amerika Serikat] untuk menjatuhkan Presiden Sukarno. Kekuatan dalam dan luar negeri anti-komunis dan anti-Sukarno memiliki kepentingan yang sama untuk menghancurkan PKI yang perkembangannya ketika itu menakutkan musuh-musuhnya, serta menggulingkan Presiden Sukarno sekaligus.
Pertentangan internal Indonesia antara kekuatan kaum kanan [yang didukung oleh kaum militer kanan, khususnya AD] melawan kaum kiri dengan PKI sebagai kekuatan pokoknya [tentunya juga dengan dukungan tersembunyi kaum militer kiri]. Pertentangan politik yang terus memanas sepanjang 1960-an sebelum 1 Oktober 1965 ditandai dengan berbagai peristiwa yang menelan korban di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara dsb. dalam skala kecil. Pertentangan yang memanas itu ditandai juga adanya sejumlah teror terhadap pimpinan dan organisasi kiri, kampanye pengganyangan setan kota dan desa, kabir, masalah Manikebu dan BPS, aksi sepihak untuk melaksanakan undang-undang yang telah disetujui DPR berupa UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-Undang Pokok Bagi Hasil) yang menguntungkan petani penggarap dan buruh tani yang jumlahnya berjuta-juta. Situasi politik memang panas, akan tetapi tidak ada situasi yang menjurus apa yang disebut sebagai keadaan “membunuh atau dibunuh.” Ini sama sekali tidak ada dan tidak ada buktinya, apalagi situasi yang kadang disebut menuju “perang saudara,” suatu sebutan yang mengada-ada. Situasi panas itu dengan arus pokok yang menguntungkan kubu pendukung Presiden Sukarno serta kaum kiri, PKI khususnya.
Setelah dihancurkannya PKI dan kekuatan kiri yang lain serta digulingkannya Presiden Sukarno, maka hasilnya Indonesia jatuh ke tangan kekuasaan diktator militer di bawah Jenderal Suharto, menjadi negeri tergadai yang tunduk dan tergantung pada kapital global sebagai bagian dari neokolonialisme dengan dukungan senjata dan hukum sampai saat ini.
Tinjauan dan Kegagalan G30S
Dalam sejumlah pertemuan sebelum 1 Oktober 1965 yang dihadiri oleh mereka yang oleh pimpinan PKI dinamai Perwira Progresif terdiri dari Kolonel Inf Latief, Letkol Inf Untung, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi, dihadiri sejumlah orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC) PKI. Dengan kehadiran pimpinan BC PKI, apakah ini berarti konsep G30S berasal dari mereka? Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC? Apa sekedar karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK) dan pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku putih Orba sebagai komplotan PKI. Jika G30S merupakan komplotan PKI, apa sebab massa PKI yang amat besar, yang berjuta-juta itu sama sekali tidak dikerahkan atau dipersiapkan, bahkan mereka tidak tahu-menahu, termasuk banyak pimpinan PKI yang tersebar di seluruh Indonesia tidak tahu dengan tepat? Msih banyak pertanyaan lain yang jawabnya tidak begitu jelas dan tidak memuaskan yang selalu menimbulkan pertanyaan baru. Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief, Mayor Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana operasi penangkapan para jenderal yang dipandangnya tidak profesional. Usulan dia tentang penutupan jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi pada saat gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan tajam, apa sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal (DD, ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu yang harus menangkapnya? Karena Mayor Inf Agus Sigit, anak buah Kolonel Inf Latief, tidak setuju dengan sejumlah masalah penting yang dibicarakan dalam rapat 17 September 1965, ia tidak lagi mengikuti pertemuan-pertemuan berikutnya, bahkan kemudian pada 1 Oktober 1965 pasukannya tidak muncul. Masalah-masalah penting yang dikemukakan dan dipertanyakan Agus Sigit rupanya tidak mendapatkan perhatian semestinya dari yang lain. Kemudian terbukti hal-hal itu menjadi sebagian kelemahan mendasar gerakan.
Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru lima bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil bagian dalam gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang dilaporkan, logistik tidak memadai, atau bahkan tidak ada), dokumen-dokumen G30S saling bertentangaqn satu sama lain, tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1 menyebutkan, “Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner”; dalam Keputusan No.2 disebut, “Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI pada 30 September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September…” lalu ada penurunan pangkat. Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di tempat, membunuh sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya, bertentangan dengan pemahaman perintah Letkol Untung.
Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Suharto dua kali. Siapa yang menugaskan dirinya? Syam bersaksi ia yang berada di tempat agak jauh di tempat yang sama. Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga batalion tetapi yang ikut bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi Markas. Nama Latief tidak tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi “hanya” sebagai anggota Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen Suparjo. Dapat ditambahkan bahwa Brigjen Suparjo tidak pernah ikut rapat-rapat persiapan, mungkin sekali ia hanya menerima informasi bahwa segala sesuatunya beres, sebagaimana tercantum dalam “dokumen Suparjo.”
Jika Suharto bukan dari bagian komplotan, maka Latief yang telah menemuinya sampai dua kali dan menyampaikan tentang gerakan yang sedang diikutinya merupakan pembocoran rahasia gerakan sebagai yang dituduhkan sementara orang. bahkan ada juga yang menuduhnya ia berkhianat terhadap gerakan, padahal kepergiannya setahu Letkol Untung dan Brigjen Suparjo. Latief mempuyai hubungan dekat dengan bekas atasannya, tentunya sedikit banyak ia tahu tentang pandangan politik Suharto. Apalagi justru Jenderal Suharto yang memanggil dan menginspeksi pasukan Yon 530 Brawijaya dan Yon 434 Diponegoro yang dianggap terlibat G30S. Setidaknya menurut Syam pasukan itu mendukung gerakan meskipun kita tidak dapat melihat di mana letak dukungannya itu, kecuali sebagian pasukan Yon 434 Diponegoro yang hendak mengundurkan diri ke PAU Halim dan yang ditolak oleh pihak AU, lalu berada di pinggiran Halim. Mereka ini yang terlibat kontak senjata dengan pasukan RPKAD.
Pada pagi setelah jam 08.30 1 Oktober 1965 Letkol Pnb Heru Atmodjo sesuai dengan tugasnya mengantarkan Brigjen Suparjo yang baru saja bertemu Men/Pangau Omar Dani ke rumah Sersan Anis Suyatno di kompleks perumahan bintara di Halim. Di sana Heru Atmodjo melihat kembali beberapa orang yang pagi itu diperkenalkan kepadanya di gedung Penas, Kolonel Latief, Letkol Untung dan dua orang sipil bersama Mayor Suyono. Di belakang hari diketahuinya kedua orang sipil itu bernama Syam Kamaruzaman dan Pono. Sebagai seorang tentara yang memiliki pengalaman memimpin operasi militer, ia tidak melihat adanya sekelompok pimpinan yang sedang memimpin operasi. Apalagi operasi yang dilakukan [seperti dikatakan oleh Mayor Udara Suyono] setingkat divisi, tentunya ada staf pemikir dan pembantu bagi komandan atau panglima pasukan. Karena ia melihat sendiri gerakan itu dari dekat, maka “gerakan ini seperti dirancang sedemikian rupa untuk menemui kegagalannya” Demikian tulis Heru Atmodjo. G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya ada satu rencana, itu merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer maupun politik seperti ditulis Jenderal Nasution.
Pada sore hari 1 Oktober 1965 dari Halim Presiden Sukarno mengeluarkan perintah dihentikannya tembak-menembak di antara seluruh pasukan serta ajakan menunggu penyelesaian politik oleh Presiden. Perintah tersebut oleh pasukan RPKAD tidak boleh disiarkan lewat RRI Jakarta. Ini merupakan permulaan pemberangusan terhadap Presiden Sukarno yang dilakukan oleh kekuasaan Jenderal Suharto. Sejak jam 19.00 1 Oktober 1965 RRI terus-menerus menyiarkan pernyataan Jenderal Suharto. Kini bukan saja pasukan Suharto menguasai lapangan, tetapi juga bidang komunikasi. Sabotase ini berlanjut sampai dijatuhkannya Presiden Sukarno.
Sebagai diulas oleh Letkol Pnb Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer yang serius, seharusnya dipimpin seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang secara intelektual maupun pengalaman lapangan memadai. Tetapi justru dia tidak pernah dilibatkan dalam rapat persiapan. Dalam buku Jenderal Nasution (1988), apa yang biasa disebut “dokumen Suparjo,” suatu dokumen yang dipercaya sebagai ditulis oleh Brigjen Suparjo setelah gagalnya G30S, telah diulas secara singkat, antara lain sbb: (1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dkk menghadapi kegagalan gerakan, semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal, mereka bingung, tidak ada perintah jelas, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak mendapat makanan, bahkan ada yang minta ke Kostrad. Pasukan meninggalkan RRI tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan menghentikan gerakan, masing-masing bubar, pulang, sambil menunggu situasi.
Peran Intelijen, Amerika Pura-Pura Kaget
Perang dingin yang di Indonesia berpuncak pada tragedi 1965 tidak dapat dilepaskan dari peranan barisan dinas intelijen dalam dan luar negeri dengan operasi intelijennya yang saling bekerjasama, menusuk, menjegal, menipu, menyesatkan dan memerangi. Jika BC PKI setidaknya sebagian tugasnya menyerupai dinas intelijen, mereka ini jauh lebih asor dibandingkan dengan yang dimiliki AD misalnya. Syam Kamaruzaman biasanya disebut sebagai agen ganda, dari kesaksiannya di Mahmillub kita ketahui dengan cekatan ia sepenuhnya mengabdi pada militer di bawah Jenderal Suharto. Seorang spion AD bernama Sriharto Harjomiguno yang sudah bertahun-tahun berada di tubuh PKI, dalam jangka tertentu menjadi pengawal DN Aidit selama di Jawa Tengah sesudah 2 Oktober 1965 tanpa bisa diendus. Belum lagi kita bicara tentang kecanggihan CIA atau dan KGB.
CIA dan moyangnya telah malang melintang di Indonesia sejak permulaan kemerdekaan, salah satu puncaknya di masa pemberontakan PRRI dan Permesta. Dalam bulan Desember 1964, seorang Duta Besar Pakistan di Eropa menulis laporan kepada Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto antara lain berisi percakapannya dengan seorang perwira intelijen Nato. Sejumlah dinas intelijen Barat sedang menyusun suatu skenario akan terjadinya suatu kudeta militer yang terlalu dini yang dirancang untuk gagal. Dengan itu akan terbuka kesempatan legal yang ditunggu-tunggu bagi AD untuk menghancurkan kaum komunis dan menjadikan Sukarno sebagai tawanan AD. Demikian diungkapkan oleh penelitian Neville Maxwell. Dalam memorandum rahasia Washington 23 Februari 1965 dibicarakan tentang dukungan terhadap elemen anti-komunis menghadapi PKI dan politik Sukarno dengan selebaran dan siaran radio gelap, kalau perlu menggunakan ajaran Sukarno. Dalam telegram rahasia Dubes Jones 24 Mei 1965 dibicarakan tentang rancangan kudeta yang terpaksa diundur. Dubes AS ini menyebutkan tentang adanya “hubungan pribadi dengan salah satu pemimpin kelompok kudeta yang mewakili elemen sipil dan militer penting.” Setelah kudeta [di radio] oleh G30S pada 1 Oktober 1965, Dubes Marshall Green yang menggantikan Jones menyatakan dengan “bijaksana,”…… “bahwa sikap yang paling bijaksana [pihak AS] ialah mengakui kup itu benar-benar mengagetkan kami [AS]….. “ Pendeknya pemerintah AS dan CIA yang sudah tahu jauh-jauh hari serta ikut merancangnya itu pura-pura kaget dan tidak tahu apa yang harus diperbuat….. Tipuan sederhana inilah yang dipercaya sebagian sejarawan dan pengulas sejarah G30S meski sudah dibuat jelas oleh mantan Dubes AS Marshall Green sebagai tipuan. Kudeta di radio itu kemudian segera diikuti oleh kudeta sebenarnya Jenderal Suharto.
Setelah kegagalan G30S dan PKI mendapat hantaman palu godam Jenderal Suharto cs, selapisan pimpinan PKI [di antaranya Sudisman yang mengaku terlibat] mengadakan kritik otokritik pada 1965/1966 [yang terkenal dengan sebutan KOK]. Sudisman menghubungkan kegagalan G30S tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sejak 1950-an. Tak pelak para penyusunnya ikut ambil bagian dan bertanggungjawab terhadap kesalahan tersebut, hal ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya oposisi mendasar yang berarti sebelum tragedi 1965 terhadap pimpinan kolektif PKI.
Apa pun yang terjadi, dari berbagai kelemahan dan kesalahan mendasar G30S yang merugikan dan bahkan menyabot diri sendiri, maka hanya ada satu kesimpulan bahwa G30S memang dirancang untuk gagal sebagai tangga panjatan sang dalang sebenarnya.