TRAGEDI G30S 1965, KONSPIRASI JAHAT ”KELOMPOK PATHOK” DAN PENGKHIANATAN SUHARTO - CIA


Bersumber dari bocoran keterangan seorang mantan tapol (inisialnya Letkol Pnb Hr). Diketahui beliau adalah seorang perwira intelijen AURI, saat peristiwa "G.30.S" meletus. Informasi ini  diungkap beliau dari hasil perbincangannya dengan Sudisman (salah seorang anggota Politbiro CC PKI) saat sama-sama mendekam di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo, Jakarta Pusat. Tulisan berikut adalah pandangan Sudisman, sebagaimana yang diceritakannya dengan gamblang mengungkap keterlibatan PKI dan Suharto cs dibalik tragedi berdarah G30S 1965.

Menjelang peristiwa G30S, telah muncul tiga faksi dalam Politbiro CC PKI. Masing-masing adalah:
1.  Faksi DN Aidit (didukung MH Lukman). DN Aidit adalah Ketua CC - PKI, dan MH Lukman sebagai Wakil Ketua I
2.   Faksi Sudisman (Sekretaris CC - PKI)
3.   Faksi Nyoto (Wakil Ketua II CC - PKI
Terpecahnya Politbiro (PB) dalam tiga faksi, karena beberapa hal, bisa karena orientasi politik, gaya kepemimpinan masing-masing pribadi dalam PKI, dan kepentingan politik yang juga personal. Sudisman misalnya punya akar yang kuat di kaum buruh. Sedang Nyoto dianggap terlalu condong ke Moskow, berbeda dengan Aidit yang berorientasi ke Beijing.
Pertanyaan menarik: bagaimana keterkaitan faksi-faksi tersebut dengan G30S?
Ternyata yang memainkan peran hanyalah Faksi Aidit, sedang dua faksi lainnya praktis tidak tahu sama sekali, tentang adanya rencana gerakan. Mulai persiapan gerakan, hingga pelaksanaan, dari unsur Politbiro (PB), hanya Aidit yang aktif. Dua faksi lain tidak dilibatkan, karena memang pecah. Dan tampaknya memang hanya persoalan kepentingan politik Aidit semata.

Untuk kepentingan politiknya (untuk tidak menyebut ambisi pribadi), Aidit lebih banyak berhubungan dengan Biro Chusus PKI (disingkat BC), dengan Ketuanya adalah Sjam Kamaruzaman. Singkat cerita, Aidit bersama BC-lah yang lebih banyak berperan dalam merancang dan mengendalikan peristiwa. Aktivitas Aidit bersama Sjam ini, bersifat klandestin, artinya tidak diinformasikan kepada unsur pimpinan Partai. Jadi aksi Aidit dan Sjam berjalan di luar jalur organisasi yang resmi.
Posisi penting BC dengan figurnya Sjam dalam peristiwa itulah, yang kemudian sering menjadi bahan perdebatan dan analisa para pakar mengenai peristiwa tersebut. Selain posisinya yang penting, figur Sjam yang terkesan misterius, membuat kontroversi seputar dirinya tak pernah selesai. BC adalah nama lain dari Biro Ketentaraan. Dari namanya saja sudah jelas, tugasnya adalah membangun jaringan ke tentara (ABRI). Untuk keperluan membangun jaringan (istilah saat itu "menggarap") di ABRI, Sjam dibantu oleh beberapa tokoh, antara lain: Pono, Bono alias Waluyo, Hamim dan Soejono Pradigdo. Sjam dan Pono lebih banyak membina hubungan dengan unsur Angkatan Darat, sedang Bono bertugas ke unsur Angkatan Udara.

Dalam melaksanakan tugasnya, BC langsung bertanggung jawab kepada Aidit, selaku Kepala Departemen Organisasi/Politbiro CC PKI. Selain namanya yang "Chusus", jalur operasi BC juga khusus, maksudnya BC sering bertindak di luar koordinasi resmi partai. Kekhususan lain adalah aksesnya yang langsung ke Aidit. Oleh karena beberapa keistimewaan yang dimiliki BC,keberadaan BC sendiri dalam Partai, sering dipertanyakan oleh pimpinan PKI yang lain (di luar Aidit). Bahkan beberapa saat setelah peristiwa, Sudisman ketika berbicara dengan sesama penghuni penjara, dengan sinis menyebut BC sebagai PKI ilegal.
Setidaknya menjelang peristiwa, sudah ratusan perwira (terbanyak unsur AD) yang berhasil mereka bina, hingga komitmen dengan perwira-perwira itu boleh dikata sangat solid. Beberapa orang dari perwira tersebut, kemudian menjadi pelaku langsung dari gerakan, seperti Letkol Untung (salah satu Komandan Bataliyon pada Resimen Cakrabirawa), Kol Abdul Latief (Komandan Brigif 1 Kodam V Jaya), Brigjen Suparjo, Kol Suherman (Asisten 1 Pangdam VII Diponegoro), Kol Udara Sudiono, Mayor Udara Sujono. Yang perlu ditekankan di sini, perwira-perwira yang masuk dalam jaringan BC, tidak bisa diklaim sebagai anggota PKI. Karena mereka hanya berhubungan dengan BC, bukan dengan PKI sebagai organisasi.
Karena memakai jalur "khusus", bukan jalur resmi, dan bersifat klandestin (rahasia). Maka hubungan atau jaringan yang dibangun BC, lebih tepat disebut ubagai konspirasi. Dengan Sjam sebagai sentral penghubung, antara Faksi Aidit dengan unsur ABRI.

Selain perwira-perwira tersebut, yang sudah masuk kategori "lingkaran dalam", BC juga membina hubungan dengan perwira-perwira di jajaran pimpinan ABRI, yaitu Men/Pangau Omar Dhani (lewat Bono) dan Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto (langsung "digarap" Sjam). Dalam link BC, Omar Dhani dan Soeharto bukanlah orang lain, keduanya dianggap "kawan" atau "orang kita". Meski belum masuk kategori "lingkaran dalam". Bentuk hubungan seperti itu bisa tercipta, terutama karena peran Sjam. Dalam bahasa yang lebih pop, posisi Sjam adalah "kanan-kiri oke".
Figur Sjam memang unik, banyak orang menyebutnya misterius. Itu bisa terjadi karena ada anggapan Sjam merupakan "agen ganda", ia bekerja untuk AD dan PKI (lewat BC). Perjalanan hidupnya juga berliku. Sebelum bergabung ke PKI, Sjam sempat menjadi kader tokoh PSI Djohan Sjahroesjah, di masa perang kemerdekaan di Jogya. Pada periode inilah, kita temukan jejak sejarah menarik, yaitu dengan adanya kemunculan "Kelompok Pathok".
Pathok adalah sebuah nama kampung di Yogya, yang sering dijadikan tempat pertemuan antara Sjam, Aidit, dan seorang perwira muda, yaitu Letkol Soeharto. Jadi perkenalan antara ketiga orang tersebut sudah lama. Terlebih Aidit memiliki hutang budi pada Sjam, karena Sjam yang meloloskan Aidit dan Lukman, saat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, di awal tahun 1950.
Sepulangnya Aidit dan Lukman, dari pelarian ke luar negeri, seusai Peristiwa Madiun. Tingkat kerahasiaan jaringan yang dibangun BC sangat tinggi. Demikian rapihnya kerahasiaan itu, sampai-sampai Mayjen S. Parman, selaku Asisten I/Intelijen Men/Pangad tragisnya turut jadi korban. Padahal selaku Asisten Intelijen, Mayjen S. Parman semestinya mengerti situasi yang tengah terjadi di lingkungan ABRI dan politik nasional pada umumnya. Ketidaktahuan yang sama juga terjadi pada pimpinan PKI. Seperti terbaca dari kekesalan Sudisman di atas. Selain itu juga tampak dari ketidaksiapan PKI, dalam menghadapi "tumpas kelor" (menumpas sampai ke akar-akarnya) beberapa waktu sesudah peristiwa.

Masih menurut sumber kami, daftar perwira yang masuk dalam jaringan BC, ada nama-nama yang rasanya unbelievable masuk dalam jaringan tersebut. Maka benar tidaknya fakta tersebut, perlu ada konfirmasi atau penelitian lebih lanjut. Nama-nama perwira dimaksud adalah: Amir Machmud????, Ali Murtopo????, Basuki Rachmat???? dan Kardono (AU) (yang semuanya kita tahu  pertama & kedua dari mereka turut andil membina rezim orde baru).
Nama perwira lain yang perlu dicatat adalah Mayjen Pranoto Rekso Samudro, yang saat itu menjabat sebagai Asisten III/Personil Men/Pangad. Yang menarik dari Mayjen Pranoto adalah posisinya yang ternyata tidak termasuk dalam jaringan BC, karena Pranoto lebih condong ke Faksi Nyoto.
Dari ketiga faksi dalam PB, Faksi Nyoto adalah faksi yang paling dekat dengan Presiden Sukarno. Ini dimungkinkan oleh posisi Nyoto selaku Menteri Negara, yang diperbantukan pada Presiden. Jadi antara Bung Karno, Nyoto dan Pranoto, berada dalam satu poros. Kini kalau kita ingat kembali, penolakan Mayjen Soeharto terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto selaku caretaker Men/Pangad saat itu, selain menunjukkan sikap pembangkangan Soeharto terhadap Presiden, bisa jadi itu adalah bagian dari "persaingan" antar faksi, karena Suharto -- lewat Sjam -- masuk Faksi Aidit. Sejak sekitar setahun sebelum peristiwa, pertentangan antara Aidit dan Nyoto semakin tajam. Peranan Nyoto dalam PB sudah dikurangi, dan juga dicopot selaku redaktur "Bintang Merah" koran terbitan PKI saat itu.

TEORI KETERPUTUSAN
Sehubungan dengan manuver jaringan BC, yakni poros Faksi Aidit - BC/Sjam - Unsur ABRI (Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Kol A Latief dkk), sumber kami selanjutnya memberikan analisa, karena sumber kami sedikit-banyaknya tahu atas peristiwa tersebut. Ia mengintrodusir "Teori Keterputusan", untuk menjelaskan peristiwa G30S, khususnya pada episode penculikkan para jenderal. Karena sumber kami ini seorang perwira intelijen, wajar kalau analisanya bernuansa intelijen.
Dalam sebuah operasi intelijen, antara yang memanfaatkan (subyek)dengan pihak yang dimanfaatkan oleh subyek, jadi obyek atau operator, biasanya tidak ada hubungan langsung. Jadi ada keterputusan antara subyek dan obyek, di sinilah letak "teori keterputusan" dalam peristiwa itu. Dan lagi, keterputusan antara subyek dan obyek, adalah sesuatu yang sangat biasa dalam dunia intelijen.
"Prosedur Keterputusan" sebenarnya merupakan langkah antisipasi (pengamanan), seandainya si obyek selaku operator gagal, maka pihak yang memanfaatkan (subyek), tidak bisa dikonfirmasi, dan selanjutnya bisa lepas tangan. Sekadar contoh mudah, bisa kita lihat dalam serial layar kaca "Mission Impossible", di mana dalam intronya, kita menyaksikan adegan, bahwa pihak pemakai (Dinas Rahasia Inggris) tak akan bertanggung jawab, jika operasi gagal.


Lalu bagaimana cara antara si subyek dan obyek berhubungan? Jawabnya mudah ditebak, yakni lewat pihak ketiga. Pihak ketiga ini berfungsi ganda, ia adalah faktor penghubung dan faktor pemutus sekaligus. Ketika operasi akan dimulai, pihak ketiga adalah penghubung. Tapi jika kelak, ternyata operasinya gagal, maka pihak ketiga yang tadinya penghubung, kini jadi pemutus. Yaitu yang memutuskan hubungan antara subyek dan obyek, agar subyek bisa lepas tanggungjawab. Jika operasi berhasil, masing-masing pihak bisa kembali ke habitat masing-masing dengan tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, pihak mana saja yang berperan sebagai subyek, obyek dan pihak ketiga selaku penghubung dan pemutus sekaligus? Subyek adalah CIA, obyek (operator) adalah Letkol Untung dan Lettu Doel Arief, dan pihak ketiganya atalah Poros Faksi Aidit- BC/Sjam - Unsur ABRI. Jadi yang akan dimanfaatkan CIA dalam operasinya atalah Letkol Untung dan Lettu Doel Arief, tapi CIA tidak langsung berhubungan dengan Untung/Doel Arief, tapi lewat Poros Aidit/Sjam.
Kalau digambar secara grafis, hubungan CIA ke Poros Aidit/Sjam atalah garis lurus, artinya berhubungan langsung. Demikian juga dari Poros Aidit/Sjam ke Letkol Untung/Lettu Doel Arief selaku operator. Sedang CIA ke operator (Untung/Doel Arief), adalah garis putus-putus, maksudnya tidak berhubungan langsung.
Yang menarik, bahwa Poros Aidit/Sjam sebenarnya berperan lebih dari sekadar "pihak ketiga". Dalam kemelut saat itu, mereka juga punya kepentingan politik sendiri. Jadi ada pertemuan kepentingan antara CIA dan Poros DNA/Sjam, dan atas dasar kepentingan politik masing-masing, mereka sama-sama memanfaatkan operator yang sama (Untung/Doel Arief.)
Ternyata operasi gagal, karena ada anggota Poros Aidit/Sjam yang membelot, yakni Pangkostrad Mayjen Suharto. Karena Mayjen Suharto memiliki akses ke Faksi Aidit/Sjam dan Operator (Untung/Doel Arif), maka Suharto bisa dengan cepat pula menggulung unsur-unsur Faksi Aidit/Sjam, dan juga unsur operator. Letnan Doel Arief selaku pelaksana di lapangan, paling awal dihabisi, oleh pasukan di bawah Kol Ali Murtopo (tentu atas perintah Suharto). Letkol Untung masih sempat melarikan diri, namun akhirnya tertangkap juga, dan segera dieksekusi. Sebelum Untung dieksekusi dan masih sama-sama di LP Cimahi, seperti yang dituturkan kepada Soebandrio ia sering menegaskan, mustahil Suharto akan tega mengkhianatinya. “Sebab”, kata Soebandrio lagi, “Untung sahabat Suharto, dan Suharto pun mengetahui rencana G-30-S itu.” Selain terhadap Untung, Suharto juga tidak mungkin akan mengkhianati Kolonel Abdul Latief. Untung dan Latief, kedua mereka anak buah Suharto ketika ia menjabat Panglima Divisi “Diponegoro” (Buku: Subandrio, “Kesaksianku Tentang G-30-S”).

TRAGEDI G30S 1965, KONSPIRASI JAHAT ”KELOMPOK PATHOK” DAN PENGKHIANATAN SUHARTO - CIA


Bersumber dari bocoran keterangan seorang mantan tapol (inisialnya Letkol Pnb Hr). Diketahui beliau adalah seorang perwira intelijen AURI, saat peristiwa "G.30.S" meletus. Informasi ini  diungkap beliau dari hasil perbincangannya dengan Sudisman (salah seorang anggota Politbiro CC PKI) saat sama-sama mendekam di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo, Jakarta Pusat. Tulisan berikut adalah pandangan Sudisman, sebagaimana yang diceritakannya dengan gamblang mengungkap keterlibatan PKI dan Suharto cs dibalik tragedi berdarah G30S 1965.

Menjelang peristiwa G30S, telah muncul tiga faksi dalam Politbiro CC PKI. Masing-masing adalah:
1.  Faksi DN Aidit (didukung MH Lukman). DN Aidit adalah Ketua CC - PKI, dan MH Lukman sebagai Wakil Ketua I
2.   Faksi Sudisman (Sekretaris CC - PKI)
3.   Faksi Nyoto (Wakil Ketua II CC - PKI
Terpecahnya Politbiro (PB) dalam tiga faksi, karena beberapa hal, bisa karena orientasi politik, gaya kepemimpinan masing-masing pribadi dalam PKI, dan kepentingan politik yang juga personal. Sudisman misalnya punya akar yang kuat di kaum buruh. Sedang Nyoto dianggap terlalu condong ke Moskow, berbeda dengan Aidit yang berorientasi ke Beijing.
Pertanyaan menarik: bagaimana keterkaitan faksi-faksi tersebut dengan G30S?
Ternyata yang memainkan peran hanyalah Faksi Aidit, sedang dua faksi lainnya praktis tidak tahu sama sekali, tentang adanya rencana gerakan. Mulai persiapan gerakan, hingga pelaksanaan, dari unsur Politbiro (PB), hanya Aidit yang aktif. Dua faksi lain tidak dilibatkan, karena memang pecah. Dan tampaknya memang hanya persoalan kepentingan politik Aidit semata.

Untuk kepentingan politiknya (untuk tidak menyebut ambisi pribadi), Aidit lebih banyak berhubungan dengan Biro Chusus PKI (disingkat BC), dengan Ketuanya adalah Sjam Kamaruzaman. Singkat cerita, Aidit bersama BC-lah yang lebih banyak berperan dalam merancang dan mengendalikan peristiwa. Aktivitas Aidit bersama Sjam ini, bersifat klandestin, artinya tidak diinformasikan kepada unsur pimpinan Partai. Jadi aksi Aidit dan Sjam berjalan di luar jalur organisasi yang resmi.
Posisi penting BC dengan figurnya Sjam dalam peristiwa itulah, yang kemudian sering menjadi bahan perdebatan dan analisa para pakar mengenai peristiwa tersebut. Selain posisinya yang penting, figur Sjam yang terkesan misterius, membuat kontroversi seputar dirinya tak pernah selesai. BC adalah nama lain dari Biro Ketentaraan. Dari namanya saja sudah jelas, tugasnya adalah membangun jaringan ke tentara (ABRI). Untuk keperluan membangun jaringan (istilah saat itu "menggarap") di ABRI, Sjam dibantu oleh beberapa tokoh, antara lain: Pono, Bono alias Waluyo, Hamim dan Soejono Pradigdo. Sjam dan Pono lebih banyak membina hubungan dengan unsur Angkatan Darat, sedang Bono bertugas ke unsur Angkatan Udara.

Dalam melaksanakan tugasnya, BC langsung bertanggung jawab kepada Aidit, selaku Kepala Departemen Organisasi/Politbiro CC PKI. Selain namanya yang "Chusus", jalur operasi BC juga khusus, maksudnya BC sering bertindak di luar koordinasi resmi partai. Kekhususan lain adalah aksesnya yang langsung ke Aidit. Oleh karena beberapa keistimewaan yang dimiliki BC,keberadaan BC sendiri dalam Partai, sering dipertanyakan oleh pimpinan PKI yang lain (di luar Aidit). Bahkan beberapa saat setelah peristiwa, Sudisman ketika berbicara dengan sesama penghuni penjara, dengan sinis menyebut BC sebagai PKI ilegal.
Setidaknya menjelang peristiwa, sudah ratusan perwira (terbanyak unsur AD) yang berhasil mereka bina, hingga komitmen dengan perwira-perwira itu boleh dikata sangat solid. Beberapa orang dari perwira tersebut, kemudian menjadi pelaku langsung dari gerakan, seperti Letkol Untung (salah satu Komandan Bataliyon pada Resimen Cakrabirawa), Kol Abdul Latief (Komandan Brigif 1 Kodam V Jaya), Brigjen Suparjo, Kol Suherman (Asisten 1 Pangdam VII Diponegoro), Kol Udara Sudiono, Mayor Udara Sujono. Yang perlu ditekankan di sini, perwira-perwira yang masuk dalam jaringan BC, tidak bisa diklaim sebagai anggota PKI. Karena mereka hanya berhubungan dengan BC, bukan dengan PKI sebagai organisasi.
Karena memakai jalur "khusus", bukan jalur resmi, dan bersifat klandestin (rahasia). Maka hubungan atau jaringan yang dibangun BC, lebih tepat disebut ubagai konspirasi. Dengan Sjam sebagai sentral penghubung, antara Faksi Aidit dengan unsur ABRI.

Selain perwira-perwira tersebut, yang sudah masuk kategori "lingkaran dalam", BC juga membina hubungan dengan perwira-perwira di jajaran pimpinan ABRI, yaitu Men/Pangau Omar Dhani (lewat Bono) dan Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto (langsung "digarap" Sjam). Dalam link BC, Omar Dhani dan Soeharto bukanlah orang lain, keduanya dianggap "kawan" atau "orang kita". Meski belum masuk kategori "lingkaran dalam". Bentuk hubungan seperti itu bisa tercipta, terutama karena peran Sjam. Dalam bahasa yang lebih pop, posisi Sjam adalah "kanan-kiri oke".
Figur Sjam memang unik, banyak orang menyebutnya misterius. Itu bisa terjadi karena ada anggapan Sjam merupakan "agen ganda", ia bekerja untuk AD dan PKI (lewat BC). Perjalanan hidupnya juga berliku. Sebelum bergabung ke PKI, Sjam sempat menjadi kader tokoh PSI Djohan Sjahroesjah, di masa perang kemerdekaan di Jogya. Pada periode inilah, kita temukan jejak sejarah menarik, yaitu dengan adanya kemunculan "Kelompok Pathok".
Pathok adalah sebuah nama kampung di Yogya, yang sering dijadikan tempat pertemuan antara Sjam, Aidit, dan seorang perwira muda, yaitu Letkol Soeharto. Jadi perkenalan antara ketiga orang tersebut sudah lama. Terlebih Aidit memiliki hutang budi pada Sjam, karena Sjam yang meloloskan Aidit dan Lukman, saat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, di awal tahun 1950.
Sepulangnya Aidit dan Lukman, dari pelarian ke luar negeri, seusai Peristiwa Madiun. Tingkat kerahasiaan jaringan yang dibangun BC sangat tinggi. Demikian rapihnya kerahasiaan itu, sampai-sampai Mayjen S. Parman, selaku Asisten I/Intelijen Men/Pangad tragisnya turut jadi korban. Padahal selaku Asisten Intelijen, Mayjen S. Parman semestinya mengerti situasi yang tengah terjadi di lingkungan ABRI dan politik nasional pada umumnya. Ketidaktahuan yang sama juga terjadi pada pimpinan PKI. Seperti terbaca dari kekesalan Sudisman di atas. Selain itu juga tampak dari ketidaksiapan PKI, dalam menghadapi "tumpas kelor" (menumpas sampai ke akar-akarnya) beberapa waktu sesudah peristiwa.

Masih menurut sumber kami, daftar perwira yang masuk dalam jaringan BC, ada nama-nama yang rasanya unbelievable masuk dalam jaringan tersebut. Maka benar tidaknya fakta tersebut, perlu ada konfirmasi atau penelitian lebih lanjut. Nama-nama perwira dimaksud adalah: Amir Machmud????, Ali Murtopo????, Basuki Rachmat???? dan Kardono (AU) (yang semuanya kita tahu  pertama & kedua dari mereka turut andil membina rezim orde baru).
Nama perwira lain yang perlu dicatat adalah Mayjen Pranoto Rekso Samudro, yang saat itu menjabat sebagai Asisten III/Personil Men/Pangad. Yang menarik dari Mayjen Pranoto adalah posisinya yang ternyata tidak termasuk dalam jaringan BC, karena Pranoto lebih condong ke Faksi Nyoto.
Dari ketiga faksi dalam PB, Faksi Nyoto adalah faksi yang paling dekat dengan Presiden Sukarno. Ini dimungkinkan oleh posisi Nyoto selaku Menteri Negara, yang diperbantukan pada Presiden. Jadi antara Bung Karno, Nyoto dan Pranoto, berada dalam satu poros. Kini kalau kita ingat kembali, penolakan Mayjen Soeharto terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto selaku caretaker Men/Pangad saat itu, selain menunjukkan sikap pembangkangan Soeharto terhadap Presiden, bisa jadi itu adalah bagian dari "persaingan" antar faksi, karena Suharto -- lewat Sjam -- masuk Faksi Aidit. Sejak sekitar setahun sebelum peristiwa, pertentangan antara Aidit dan Nyoto semakin tajam. Peranan Nyoto dalam PB sudah dikurangi, dan juga dicopot selaku redaktur "Bintang Merah" koran terbitan PKI saat itu.

TEORI KETERPUTUSAN
Sehubungan dengan manuver jaringan BC, yakni poros Faksi Aidit - BC/Sjam - Unsur ABRI (Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Kol A Latief dkk), sumber kami selanjutnya memberikan analisa, karena sumber kami sedikit-banyaknya tahu atas peristiwa tersebut. Ia mengintrodusir "Teori Keterputusan", untuk menjelaskan peristiwa G30S, khususnya pada episode penculikkan para jenderal. Karena sumber kami ini seorang perwira intelijen, wajar kalau analisanya bernuansa intelijen.
Dalam sebuah operasi intelijen, antara yang memanfaatkan (subyek)dengan pihak yang dimanfaatkan oleh subyek, jadi obyek atau operator, biasanya tidak ada hubungan langsung. Jadi ada keterputusan antara subyek dan obyek, di sinilah letak "teori keterputusan" dalam peristiwa itu. Dan lagi, keterputusan antara subyek dan obyek, adalah sesuatu yang sangat biasa dalam dunia intelijen.
"Prosedur Keterputusan" sebenarnya merupakan langkah antisipasi (pengamanan), seandainya si obyek selaku operator gagal, maka pihak yang memanfaatkan (subyek), tidak bisa dikonfirmasi, dan selanjutnya bisa lepas tangan. Sekadar contoh mudah, bisa kita lihat dalam serial layar kaca "Mission Impossible", di mana dalam intronya, kita menyaksikan adegan, bahwa pihak pemakai (Dinas Rahasia Inggris) tak akan bertanggung jawab, jika operasi gagal.


Lalu bagaimana cara antara si subyek dan obyek berhubungan? Jawabnya mudah ditebak, yakni lewat pihak ketiga. Pihak ketiga ini berfungsi ganda, ia adalah faktor penghubung dan faktor pemutus sekaligus. Ketika operasi akan dimulai, pihak ketiga adalah penghubung. Tapi jika kelak, ternyata operasinya gagal, maka pihak ketiga yang tadinya penghubung, kini jadi pemutus. Yaitu yang memutuskan hubungan antara subyek dan obyek, agar subyek bisa lepas tanggungjawab. Jika operasi berhasil, masing-masing pihak bisa kembali ke habitat masing-masing dengan tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, pihak mana saja yang berperan sebagai subyek, obyek dan pihak ketiga selaku penghubung dan pemutus sekaligus? Subyek adalah CIA, obyek (operator) adalah Letkol Untung dan Lettu Doel Arief, dan pihak ketiganya atalah Poros Faksi Aidit- BC/Sjam - Unsur ABRI. Jadi yang akan dimanfaatkan CIA dalam operasinya atalah Letkol Untung dan Lettu Doel Arief, tapi CIA tidak langsung berhubungan dengan Untung/Doel Arief, tapi lewat Poros Aidit/Sjam.
Kalau digambar secara grafis, hubungan CIA ke Poros Aidit/Sjam atalah garis lurus, artinya berhubungan langsung. Demikian juga dari Poros Aidit/Sjam ke Letkol Untung/Lettu Doel Arief selaku operator. Sedang CIA ke operator (Untung/Doel Arief), adalah garis putus-putus, maksudnya tidak berhubungan langsung.
Yang menarik, bahwa Poros Aidit/Sjam sebenarnya berperan lebih dari sekadar "pihak ketiga". Dalam kemelut saat itu, mereka juga punya kepentingan politik sendiri. Jadi ada pertemuan kepentingan antara CIA dan Poros DNA/Sjam, dan atas dasar kepentingan politik masing-masing, mereka sama-sama memanfaatkan operator yang sama (Untung/Doel Arief.)
Ternyata operasi gagal, karena ada anggota Poros Aidit/Sjam yang membelot, yakni Pangkostrad Mayjen Suharto. Karena Mayjen Suharto memiliki akses ke Faksi Aidit/Sjam dan Operator (Untung/Doel Arif), maka Suharto bisa dengan cepat pula menggulung unsur-unsur Faksi Aidit/Sjam, dan juga unsur operator. Letnan Doel Arief selaku pelaksana di lapangan, paling awal dihabisi, oleh pasukan di bawah Kol Ali Murtopo (tentu atas perintah Suharto). Letkol Untung masih sempat melarikan diri, namun akhirnya tertangkap juga, dan segera dieksekusi. Sebelum Untung dieksekusi dan masih sama-sama di LP Cimahi, seperti yang dituturkan kepada Soebandrio ia sering menegaskan, mustahil Suharto akan tega mengkhianatinya. “Sebab”, kata Soebandrio lagi, “Untung sahabat Suharto, dan Suharto pun mengetahui rencana G-30-S itu.” Selain terhadap Untung, Suharto juga tidak mungkin akan mengkhianati Kolonel Abdul Latief. Untung dan Latief, kedua mereka anak buah Suharto ketika ia menjabat Panglima Divisi “Diponegoro” (Buku: Subandrio, “Kesaksianku Tentang G-30-S”).