PETRUS : Dalih Pembasmian Kejahatan "Orde Baru" yang Terlupakan
Masih inget PETRUS? Bagi yang pernah mengalamin jaman awal taun 80-an psti pnah denger. Mulai dari isu, mulut ke mulut sampe brita ke koran, smpat menjadi wacana paling mengemuka saat itu. Namun tetap saja, dikalangan masyarakat awam, juga dikalangan pelajar, tak pernah disinggung dalam buku-buku sejarah bahkan hingga zaman reformasi kini. Coba saja cari kisah ‘petrus’ (penembak misterius) dalam buku-buku sejarah yang diedarkan di sekolahan. Sama saja dengan berbagai peristiwa-peristiwa lain, kemisteriusan ‘petrus’ tetap di kawal untuk tidak diketahui oleh manusia-manusia dini dalam sebuah paparan yang adil. Kisah ‘petrus’, yang gegar dari tahun 1983-1985, mungkin rata-rata hanya hadir di benak orang-orang hidup setelah periode itu dalam bentuk dongeng atau ‘cerita-silat’.
Gaya pembasmian kejahatan ala pendekar-penumpas-kejahatan ini pada awalnya memang disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat pada era kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, atas alasan keresahan yang dialami oleh masyarakat dengan naik-drastisnya tingkat kejahatan, khususnya di kota-kota besar Indonesia.
Penembakan misterius juga merupakan bukti dari penggunaan kekuatan militer dalam mengatur peri kehidupan masyarakat. Militer, sebagai pemegang kekuatan bersenjata, dengan giat dan ligat menumpas orang-orang (yang dicurigai) pelaku kejahatan. Uniknya, seperti yang tersua dalam cerita Bunyi Hujan di atas Genting dan Grhhh, ciri khusus pelaku kejahatan yang salah satunya dijadikan acuan adalah ciri yang kini bolehlah disebut dangkal: tubuh bertato. (resensi buku ‘penembak Misterius’ karya Seno Gumira Ajidarma)
Tapi tetap saja setiap kali hujan reda, di mulut gang itu tergelataklah mayat bertato. (Bunyi Hujan di atas Genting)
Reserse Sarman memperhatikan bahwa di tubuh yang mulai mencair itu masih terlihat sisa-sisa tato. (Grhhh)
Mungkin memang benar bahwa kebanyakan pelaku kejahatan (kecil) adalah orang-orang yang bertato. Tapi apa semua orang bertato adalah penjahat? Sepertinya dari titik peristiwa ini pula semakin kuat citra stereotipikal tentang tato yang beredar di masyarakat luas. Perlu diingat, sampai sekarangpun masih dengan terang tersisa jejak trauma tato itu di mata publik.
Yang menarik dan harus diperhatikan dari penumpasan kejahatan gaya Batman ini adalah bahwa, dari sekitar 10.000 korban yang bergelimpangan akibat timah panas petrus, dapat dikatakan semuanya adalah pelaku kejahatan ‘kecil’. Mereka adalah orang-orang yang dicurigai sebagai perampok, pencuri, preman, bandar judi, dsb, bahkan banyak sekali yang ternyata sudah menyandang gelar ‘mantan penjahat’. Lagipula, belum pernah ada terdengar seorang anggota DPR yang korup menjadi korban petrus.
*** MEDIA MASSA DIBUNGKAM***
Sebenarnya, karena keresahan yang terjadi, pemerintah sudah melarang pers untuk meliput hal-hal yang bersangkutan dengan petrus pada Agustus 1983. Padahal, sampai 1985 petrus masih merajai jalanan. Inilah usaha pemerintah untuk menghilangkan ingatan masyarakat akan petrus. Mediamassa, sebagai sumur informasi paling populer, adalah target yang jitu untuk dibungkam. Pada titik tertentu, penghilangan sesuatu isu dari mediamassa berbanding lurus dengan hilangnya perhatian khalayak terhadap sesuatu isu tersebut. Dengan cerdik, pemerintah dapat membaca relasi-berbanding-lurus ini. Dan dengan picik dibungkamlah jurnalisme.
Walau bagaimanapun, kecaman bertubi-tubi tetap berdesing datang dari berbagai pihak: kalangan DPR, pembela HAM, orang-orang peduli penegakan hukum, dan masyarakat sendiri, yang ternyata menjadi resah dan ketakutan karena mencekamnya situasi yang diciptakan oleh petrus.
Dari segi penegakan hukum, misalnya, ada Adnan Buyung Nasution yang dengan keras menentang pelecehan yang dilakukan pihak militer secara terang-terangan terhadap supremasi hukum. Seno juga tidak lupa menyelipkan hal ini dalam kebimbangan tokohnya di cerita Keroncong Pembunuhan. Si juru-tembak-tepat yang dibayar untuk membunuh seseorang itu bahkan dengan jelas mempertanyakan,
Aku menatap lagi matanya, pengkhianat yang bagaimana?
“Pengkhianat yang bagaimana? Kenapa tidak diadili saja?”
“Pengkhianat yang bagaimana? Kenapa tidak diadili saja?”
Lebih lagi, tidak dapat dipungkiri, situasi mencekam memang benar-benar meruak dan menghantui kehidupan masyarakat pada saat itu. Masyarakat, yang tadinya mendukung karena tingkat kejahatan menurun drastis, berbalik menghujat petrus karena kengerian yang diakibatkannya dan kealpaannya memberantas kejahatan secara adil dan menyeluruh. Petrus memang berhasil menciptakan trauma di tengah-tengah masyarakat. Mayat yang bergelimpangan menjadi pemandangan yang selalu menemani matahari menyapa bumi. Kondisi apa ini? Seakan-akan tidak ada masalah lain saja. Seakan-akan kejahatan (kecil) yang meningkat pada masa itu datang dengan sendirinya. Petrus adalah sebuah program yang dilaksanakan dengan eka-sudut-pandang. Tidak disadari bahwa kepelikan masalah ini adalah (hanya) sekepul asal akibat dari suatu bara yang menyala dalam sekam. Trauma ini digugat oleh Seno dalam Grhhh:
“Pembantaian itu kesalahan besar, Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati, Pak! Mereka membalas dendam!”
Tindakan Pemerintah kala itu ala Agen CIA dan FBI-nya Amerika ini belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai inisiatif dan atas perintahnya.
“Ini sebagai shock therapy,”
kata Soeharto dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Pada saat penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Meski begitu, menurut Soeharto,
“Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya.”
Mungkin tidak terlalu keliru untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri.
Sayang, petrus hanya berlaku untuk preman kelas teri, mereka yang merampok karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena mereka rakus…